Cabang Keimanan; Kalimat Tahlil, Merawat Alam Dan Rasa Malu

Keimanan ada yang bersifat pokok dan ada yang bersifat cabang. Iman yang bersifat pokok adalah rukun Iman, sedangkan Iman yang bersifat cabang disebut syu’abul-Îmân. Ketika keimanan yang bersifat pokok bersatu padu dengan yang bersifat cabang dalam diri seseorang, maka di situlah kesempurnaan Iman didapatkan. Imam an-Nawawi menyebutkan, bahwa pembahasan tentang cabang Iman ini tentu membutuhkan panjang lebar penjelasan. Dalam hal ini, para ulama telah menulis beberapa karya untuk memerincinya satu-satu, sebut saja Imam Abû ‘Abdillâh al-Halîmi, Mahaguru mazhab Syâfi’i di Bukhara, yang menulis kitab al-Minhâj fî Syu’abil-Îmân, ada juga Imam al-Baihaqi, ahli hadis kenamaan, yang menulis kitab akbar berjudul Syu’abul-Îmân.[1] Selain itu, ada Imam al-Murtadhâ az-Zabîdi dengan karyanya yang berjudul ‘Iqdul-Jumân fî Bayâni Syu’abil-‘Îmân dan Imam Abul-Qâsim al-Qazwîni yaang meringkas kitab besar Imam al-Baihaqi di atas yang dikenal dengan Muktashar Syu’abil-Îmân. Sementara itu, ulama Indonesia yang memiliki karya tulis dalam bidang ini, salah satunya adalah Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani yang menganggit kitab Qâmiuth-Thughyân.

Ide penulisan karya tentang cabang-cabang keimanan, berawal dari hadis Nabi SAW yang berbunyi:

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا اِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

“Iman terdapat 70 sekian cabang. Cabang paling utama adalah ucapan lâ ilâha illal-lâh (tiada tuhan kecuali Allah), sedangkan paling minimal adalah menyingkirkan sesuatu yang menyakitkan dari jalan. Sifat malu adalah bagian dari cabang Iman.”[2]

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqallâni, mengutip pendapat al-Qâdhi ‘Iyâdh menulis, bahwa para ulama yang berupaya memerinci poin-poin dari cabang Iman itu sebenarnya mendasarkannya pada ijtihad masing-masing. Itu berarti, tidaklah mudah bagi para ulama untuk memastikan cabang Iman yang dimaksudkan oleh Baginda Nabi SAW sesuai angka yang beliau sabdakan. Karena Baginda Nabi SAW sendiri memang tidak menyebutkannya satu-satu. Oleh karena itu, para ulama berijtihad.

Hanya saja, Imam Ibnu Hajar kemudian memberikan metode, bahwa cabang-cabang Iman itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga; perbuatan hati, perbuatan lisan dan perbuatan badan. Dari ketiga kelas ini, cabang keimanan itu bermuara.[3]

Terlepas dari banyaknya cabang Iman yang ada, dalam hadis di atas, setidaknya Baginda Nabi SAW menyebutkan tiga hal sebagai cabang keimanan; mengucapkan kalimat lâ ilâha illal-lâh, menyingkirkan hal yang mengganggu di jalan, dan sifat malu. Tiga hal ini akan saya uraikan sebagaimana berikut:

Kalimat Tahlil

Tiada tuhan kecuali Allah, disebut kalimat tauhid yang berati pengesaan terhadap Tuhan, dan disebut kalimat syahadat yang berarti kesaksian hamba atas ketuhanan Allah SWT, atau juga disebut kalimat tahlil yang bermakna mengucapkan lâ ilâha illal-lâh.

Kalimat ini secara makna meniscayakan keyakinan dengan hati, pengakuan dengan lisan dan tindakan dengan anggota badan, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, bersifat dengan segenap kesempurnaan dan suci dari setiap sifat kekurangan, Dia adalah Zat Yang Maha Kaya dan Maha Dibutuhkan oleh selain-Nya. Oleh karena Dia sebagai Tuhan yang hak, maka setiap perintah-Nya wajib dilaksanakan, sebagaimana larangan-Nya juga wajib ditinggalkan.

Itulah esensi kalimat tiada tuhan kecuali Allah. Apabila kalimat tersebut dipandang sebagai kalimat tauhid dan syahadat, maka sudah menjadi barang tentu bahwa kalimat tersebut adalah rukun Iman pertama. Ketika menjadi rukun Iman, maka siapa pun yang tidak meyakininya, berarti dia telah keluar dari agama Islam. Hal itu sudah maklum adanya.

Namun, apabila dipandang sebagai kalimat tahlil, maka lâ ilâha illa-lâh adalah kalimat zikir paling utama yang menjadi cabang Iman paling tinggi. Dalam hadis disebutkan:

أَفْضَلُ ‌الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ

“Paling utama zikir adalah tiada tuhan kecuali Allah, dan paling utamanya doa adalah segala puji hanya milik Allah.”[4]

Maka dari itu, kalimat ini menjadi kalimat zikir favorit dalam dunia tasawuf yang diamalkan oleh para pembesar sufi agar bisa makrifat dan menyaksikan Allah SWT dalam setiap gerak-gerik dan dalam setiap hembusan nafas. Bukan hanya itu, kalimat ini juga menjadi rajanya kebaikan. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَوْصِنِي. قَالَ: ‌إِذَا ‌عَمِلْتَ ‌سَيِّئَةً ‌فَأَتْبِعْهَا ‌حَسَنَةً ‌تَمْحُهَا. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَمِنَ الْحَسَنَاتِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ؟ قَالَ: هِيَ أَفْضَلُ الْحَسَنَاتِ

“Dari Abu Dzarr, berkata: ‘Aku berkata kepada Nabi SAW: ‘Wahai Rasulullah, beri aku wasiat!’ Nabi SAW bersabda: ‘Kalau kamu berbuat buruk, maka iringilah dengan kebaikan. Kebaikan itu akan menghapusnya.’ Aku bertanya kepada Nabi SAW: ‘Wahai Rasulullah, apakah termasuk kebaikan adalah ucapan lâ ilâha illal-lâh?’ Maka Nabi SAW menjawab: ‘Ia adalah paling utamanya kebaikan.”[5]

Selain sebagai raja kebaikan, kalimat ini dapat menjadi benteng dari api neraka. Di dalam hadis qudsi disebutkan:

يقول الله عز وجل: لا إله إلا الله حصني فمن قالها دخل حصني ‌ومن ‌دخل ‌حصني أمن عذابي

“Allah SWT berfirman: ‘Lâ ilâha illa-lâh adalah bentengku, barang siapa mengucapkannya, maka dia telah masuk ke dalam bentengku. Barang siapa masuk ke dalam bentengku, maka dia aman dari siksaku.”[6]

Dan tentu saja masih banyak lagi keutamaan kalimat tahlil ini sebagai zikir. Orang yang merutinkan zikir dengan kalimat ini maka dia telah melakukan kebaikan tingkat tinggi dalam cabang keimanan.

Merawat Alam

Nabi SAW melanjutkan, bahwa cabang keimanan paling bawah adalah imathatul-adzâ ‘anith-tharîq yang artinya menyingkirkan setiap hal yang mengganggu dari jalan. Kalau boleh saya renungi lebih luas tentang potongan hadis ini, maka saya berpendapat bahwa cabang Iman paling minimal adalah menyingkirkan setiap hal yang mengganggu kenyamanan di tempat-tempat umum. Entah itu kenyamanan manusia ataupun makhluk yang lain, entah itu di jalan atau di tempat-tempat umum lain.

Oleh karena itu, maka sudah seharusnya kita mengejawantahkan keimanan terhadap lingkungan kita dan alam semesta dengan penuh kesadaran. Kaum Muslim sejati harusnya risih melihat sampah bertebaran di selain tempatnya, yang oleh karena itu, ia akhirnya memiliki kepedulian untuk memungut sampah tersebut. Sebab sampah adalah al-adzâ yang mengganggu kenyamanan umum. Jika pun tidak bisa membersihkan, maka minimal tidak mengotori dan mencemari alam.

Jadi, cahaya keimanan justru membangkitkan rasa peduli terhadap nikmat alam yang Allah sediakan untuk manusia hidup. Cahaya keimanan menyentuh pada hal-hal sederhana yang banyak diabaikan oleh orang-orang. Cahaya keimanan membangun pribadi menjadi lebih bersih, rapi dan disiplin. Jika dalam hal-hal semacam ini saja cabang Iman menyentuh dan membahasnya, maka apalagi dalam hal-hal besar lain. Bayangkan saja, sabda Nabi SAW: “Cabang Iman paling rendah adalah menyingkirkan hal yang mengganggu kenyamanan umum,” maka bagaimana dengan cabang Iman dengan tingkat yang sedang dan yang paling tinggi? Tentu lebih peduli lagi.

Kepedulian terhadap alam semesta, masuk dalam bagian cabang Iman. Dengan begitu, keimanan yang sejati tidak akan rela membiarkan pemiliknya buang sampah sembarangan, menyerobot antrean, melanggar aturan lalu lintas, mencemari hutan, sungai, danau, selat, teluk dan lautan. Kesempurnaan Iman melarang hal itu karena mengganggu kenyamanan umum.

Masak kita kalah dengan non-Muslim, katakanlah masyarakat Jepang, yang memiliki kesadaran soal sampah, ketertiban, kesopanan, kedisiplinan dan kejujuran? Bukankah mereka tidak beriman? Tentu saja jangan sampai kalah dengan mereka.

Masyarakat Jepang membangun kesadarannya dalam hal-hal tadi demi kepentingan makhluk. Tetapi kaum beriman membangun kesadarannya dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas adanya alam semesta yang indah ini. Itulah titik perbedaan kepedulian kaum beriman dan kaum tidak beriman.

Rasa Malu

Memiliki sifat malu adalah bagian dari cabang keimanan. Sifat malu di sini berarti rasa tidak nyaman dan sungkan di hadapan Allah Yang Maha Melihat. Malu berbuat hal-hal yang tidak diridai-Nya, malu berbuat keburukan dan kejelekan, malu menyuarakan kebatilan dls., baik di keramaian maupun di tempat sepi, baik sendiri maupun bersama. Akan tetapi, malu di sini bukan berati bersifat pengecut. Karena pengecut adalah keburukan. Malu adalah sifat yang positif, bukan yang negatif.

Namun, di zaman sekarang, orang-orang malah menggantungkan sifat malunya hanya kepada makhluk dan melupakan Sang Khalik. Orang zaman sekarang, misalnya, malu mengumbar aurat ketika di depan banyak orang, tetapi berani ketika berada di depan kamera. Malu mencuri di depan CCTV, tetapi berani saat sepi-sepi. Malu berbuat zina di keramaian, tapi saat hanya berduaan malah berani. Malu berbuat buruk saat bersama orang yang tak dikenal, tetapi berani saat bersama teman se-pemikiran. Dan silakan cari contoh-contoh lain, yang persoalannya bermuara dari penggantungan sifat malu tidak kepada yang tepat. Semua ini pada hakikatnya bukan sifat malu, tetapi sifat memalukan.

Orang yang malu kepada Allah, maka dia merasa terawasi karena tahu betul bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Mengawasi. Oleh karena itu, mau ramai atau sepi, mau sempat atau tidak sempat, sikapnya akan tetap sama; konsisten dalam kebaikan, dan menjauhi keburukan. Demikianlah sikap malu yang dimiliki oleh kaum beriman.

Oleh karena itu, sifat malu dengan pengertian Imaniah ini, terlebih di zaman sekarang, sangat perlu ditanamkan dalam jiwa-jiwa umat Islam generasi muda. Agar mereka memiliki rasa malu, sungkan dan tidak nyaman saat melanggar aturan Allah. Bukan rasa malu versi hawa nafsu. Ketika seseorang merasa malu kepada Allah, maka sebagai konsekuensinya ia juga merasa malu berbuat buruk kepada sesama.

Penutup

Demikianlah beberapa uraian tentang tiga poin cabang Iman. Dalam pandangan Ahlusunah Wal Jamaah, kualitas Iman bisa saja naik dan turun. Salah satu cara di dalam menaikkan kualitas keimanan adalah dengan melakukan ketaatan dan menghiasi diri dengan cabang-cabang Iman. Apabila seseorang telah menggabungkan ketaatan dan keimanan, maka dia menyandang status sebagai kekasih Allah dan mendapatkan rida Allah yang menjadi tujuan utama di dalam hidup di dunia ini:

أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢ ‌ٱلَّذِينَ ‌ءَامَنُواْ ‌وَكَانُواْ ‌يَتَّقُونَ ٦٣ لَهُمُ ٱلۡبُشۡرَىٰ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۚ لَا تَبۡدِيلَ لِكَلِمَٰتِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ٦٤ [يونس: 62-64] 

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih. (Mereka adalah) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (ketetapan dan janji) Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” (QS. Yûnus: 62-64)

Wallâhu A’lam


[1] An-Nawawi, Syarah Shahîh Muslim, vol. I hal. 201.

[2] Hadis riwayat Imam Muslim (No. 35) dan lain sebagainya.

[3] Ibnu Hajar al-‘Asqallâni, Fathul-Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri, vol. I hal. 52, Mesir: Maktabah as-Salafiyyah.

[4] Hadis riwayat Imam Ibnu Mâjah (No. 3800) dan lain sebagainya.

[5] Hadis riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya (No. 21487)

[6] Hadis riwayat Imam ad-Dailami, disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Zahral-Firdaus (No. 3023) dan Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ’ (III/191).

Tinggalkan komentar