Untuk Apa Kita Hidup?

Pada saatnya, setiap orang akan memikirkan untuk apa dia diciptakan dan hidup di bumi, kenapa setelah hidup dia mati, dan apakah hidup ini akan selesai setelah mati. Untuk menjawab pertanyaan itu, sebagian orang tak jarang merenungkannya bertahun-tahun. Sementara itu, orang yang berpikir secara dangkal akan mengartikan, kehidupan adalah masa untuk bersenang-senang, ia hanya sekali, setelah itu mati, dan mati adalah rest in peace (istirahat dalam damai), tamat.

Konon, Aristoteles mengatakan bahwa tujuan atau makna tertinggi manusia adalah kebahagiaan. Jadi, bahagia adalah tujuan yang semua orang mati-matian mencari dan mengusahakannya. Sedangkan dalam teori logoterapi Victor Frankl, tanggung jawab merupakan esensi dari hidup manusia[1]. Sebab orang yang bertanggungjawab berarti ia menyadari, memahami, dan dapat menunjukkan alasan dan tujuan hidupnya.

Tentu saja masih banyak temuan lain yang berbeda tentang makna dan tujuan hidup menurut masing-masing. Hal itu tidak mengherankan, karena setiap orang punya orientasi dan cara pandangnya sendiri.

Pandangan cendekiawan Barat soal tujuan hidup, tidak lepas dari orientasi mereka yang membatasi segala sesuatu secara duniawi dan fisika. Sehingga tujuan hidup mereka hanya untuk kehidupan dunia, tidak untuk dibawa mati. Hal itu dapat dimaklumi karena mereka sendiri tidak meyakini keberadaan hidup setelah mati.

Oleh karena itu, sebagai umat Islam harusnya kita tahu tujuan hidup kita secara Islam. Imam Abû Hâmid al-Ghazâli menegaskan dalam kitab Minhâjul-‘Âbidîn, bahwa manusia diciptakan untuk berilmu dan beribadah. Ilmu dan ibadah adalah dua permata yang karenanya semua yang kita lihat dan yang kita dengar menjadi ada dan diciptakan. Atas dasar ilmu dan ibadah, para ulama mengarang kitab, para guru mengajarkan ilmunya, para pemikir menuangkan gagasannya, alam semesta diciptakan, kitab-kitab samawi diturunkan, dan para nabi diutus oleh-Nya.

Tujuan hidup untuk berilmu, adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:

ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖ وَمِنَ ٱلۡأَرۡضِ مِثۡلَهُنَّۖ يَتَنَزَّلُ ٱلۡأَمۡرُ بَيۡنَهُنَّ ‌لِتَعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ قَدۡ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عِلۡمَۢا ١٢ [الطلاق: 12] 

“Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan (menciptakan pula) bumi seperti itu. Perintah-Nya berlaku padanya (langit dan bumi; alam semesta) agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalâq: 12)

Dalam ayat di atas, Allah menegaskan bahwa penciptaan alam semesta ini ditujukan agar manusia berilmu secara umum, dan khususnya ilmu ketuhanan (tauhid) sebagai fondasi bagi segenap ilmu yang lain. Bahwa alam semesta diciptakan agar direnungi, diteliti dan dirawat. Walaupun ayat tentang keutamaan ilmu masih banyak, akan tetapi ayat di atas sudah cukup untuk mewakili bahwa tujuan hidup manusia adalah supaya berilmu.

Sedangkan tujuan hidup untuk beribadah, adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ ‌إِلَّا ‌لِيَعۡبُدُونِ ٥٦ [الذاريات: 56] 

Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.” (QS. Adz-Dzâriyât: 56)

Sudah cukup jelas kiranya, bahwa dalam ayat ini Allah SWT memberikan pesan, tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah[2]. Beribadah kepada Allah berarti menghamba dan berbakti kepada-Nya dalam setiap perintah dan menjauhi setiap larangan. Beribadah kepada Allah bukan berarti Allah butuh kepada kita, akan tetapi justru sebagai bukti bahwa kita adalah hamba-Nya.

Oleh karena itu, sudah semestinya bagi setiap umat Islam agar menjadikan permata ilmu dan ibadah sebagai tujuan hidup. Adapun selain dua hal ini, maka ia batil dan tidak bernilai, kecuali kalau dijadikan sebagai perantara untuk dua tujuan mulia di atas. Jadi merupakan kesalahan besar jika ilmu dan ibadah dipersepsikan sebagai tujuan orang-orang saleh saja. Tidak. Idealnya, ilmu dan ibadah adalah tujuan semua orang Islam, bukan hanya untuk para kiai, ustaz dan santri saja.

Ketika seseorang menekuni ilmu dan ibadah sebagai tujuan hidupnya, maka ia akan hidup dalam keadaan damai dan bahagia di dunia hingga kelak di akhirat. Apabila tidak, maka ia akan dikejar-kejar kecemasan dan kebingungan di dunia, apalagi nanti ketika di akhirat.

مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ ‌فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧ [النحل: 97] 

Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Betapa banyak orang yang memilih mengakhiri hidup (bunuh diri) hanya gara-gara ia keluar dari tujuan hidup yang digariskan oleh Allah. Padahal semua kesenangan dunia sudah pernah dia lakukan. Dan betapa banyak pula tindakan kriminal dan amoral yang berawal dari absennya ilmu dan ibadah. Sudah tidak terhitung!

Jadi, orang yang menekuni tujuan hidupnya, maka dia akan menemukan kebahagiaan sebenarnya, disadari atau tidak. Dan kebahagiaan ini tidak berhenti sampai di dunia, tetapi akan terus dibawa sampai akhirat. Walaupun nantinya orang lain heran dan kebingungan, apa yang menyebabkannya bahagia.

Dari sini, saya teringat pesan al-Marhum Kiai Hasani Nawawie Sidogiri (w. 2001):

السعادة الحقيقية خارجة عن النفس الناسوت اهتداها اللاهوت، وليست السعادة من له مال كثير ولا هدي وفير ولكنها من سعد لما هداه الله الغافر

“Bahagia sejati akan terpatri dalam jiwa manusia yang mendapatkan hidayah dari Allah, bukan bahagia yang didapatkan karena tumpukan harta, bukan pula karena tumpukan hadiah. Akan tetapi bahagia sejati ialah karena mendapatkan hidayah Allah.”

Wallâhu A’lam.


[1] Frankl, Man’s for Meaning, Revised and updated, hal.130-131

[2] Al-Ghazâli, Minhâjul-‘Âbidîn (Hâmisy Sirâjuth-Thâlibîn), vol. I hal. 71-72, Cet.: Al-Haramain.

Tinggalkan komentar